Split, film yang baru - baru saja selesai ku tonton meski sebenarnya film ini sudah release tahun 2017 lalu. Kepikiran mau nonton film ini karena dapat recommend dari si sister. Berhubung kami berdua sukanya film slasher thriller yang berdarah - darah, ku sempat mikir film ini mungkin akan sebrutal SAW atau segila The Human Centipide.
Tapi, nyatanya ekpectasi-ku terlalu jauh, kawan - kawan. π€£ Tidak ada adegan laknat yang membuat perut mual. Tidak ada psikopat gila yang selalu sukses membuatku depresi karena si psikopat suka matiin banyak orang, tapi, dianya tidak mati - mati. Kecewa karena semuanya tidak sesuai dengan bayanganku? No!!! Meskipun film ini relatif bersih, harus ku akui kalau film ini memang menarik seperti yang dikatakan si sister.
Terutama jika kita melihat dari sisi kejiwaan seorang Kevin. Bayangkan saja, jika dalam satu tubuh yang seharusnya hanya dihuni satu jiwa malah di dalamnya terdapat kepribadian yang terpecah. Bukan hanya dua atau tiga, tapi, dua puluh empat kepribadian yang berbeda berada dalam satu wadah.
Begitu tahu kalau Kevin mengidap kepribadian ganda, aku langsung berpikir trauma masa lalu apa yang menimpa Kevin hingga melahirkan sosok dirinya yang lain. Sebegitu takutnyakah seorang Kevin? Sebegitu parahkah luka di masa lalunya hingga ia memerlukan perlindungan dari para alter egonya?
Kalau dulu, setiap kali menonton film dimana tokoh utamanya adalah seorang psikopat, rasa simpatik itu tidak pernah ada. Yang ada rasa marah, jengkel dan kesal. Tapi, sekarang kalau menonton film dengan tipe seperti ini, bawaannya malah kasihan.
Mungkin benar ungkapan yang mengatakan bahwa orang jahat itu terbentuk dari orang baik yang selalu tersakiti. Dari mereka yang selalu terluka hingga akhirnya sisi gelap itu semakin menguat dan mengalahkan sisi kemanusiaan. Tak ada orang yang ingin menjadi penjahat, tapi, terkadang keadaanlah yang memaksa.
Keadaan yang memaksa dan pola asuh yang salah. Kedua hal ini ternyata sangat berpengaruh untuk kepribadian seseorang. Kevin dalam Split memiliki seorang ibu yang selalu menggunakan hukuman fisik untuk menghukum Kevin kecil. Martin dalam The Human Centipide pun memiliki ibu dengan tipikal yang kurang lebih sama. Kurang empati, kasar dan semena - mena.
Menonton film - film ini membuatku semakin yakin bahwa menjadi seorang ibu bukanlah pekerjaan yang mudah. π Karena jika seorang ibu menerapkan pola asuh yang salah maka bukan hal mustahil jika yang dilahirkan dan dibesarkannya akan menjadi seorang monster. Monster yang hanya bisa merusak dan menyakiti.
Kembali ke kasus Kevin, dalam hal ini sebenarnya Kevin tak sepenuhnya menyerah dengan keadaan. Kevin bahkan secara rutin berkonsultasi dengan seorang dokter, tapi, sekali lagi penyakit semacam MPD dan DID bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan layaknya sakit flu atau demam.
Sebutir obat tak bisa mengembalikan jiwa yang rusak itu kembali murni seperti tak pernah terjadi apa - apa. Anak yang terluka itu mungkin tidak mengatakan apapun, tapi, memory akan luka tersebut akan terus berputar di otaknya seumur hidup. Ia diam, tapi, bukan berarti melupakan.
Jika anak itu cukup kuat, ia bisa menjadikan hal buruk itu sebagai motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi, bagaimana jika sang anak tergolong rapuh? Ia terluka dan ketakutan, tapi, tak tahu harus mengadu kemana. Ia terus menumpuk rasa takut dan rasa bencinya hingga suatu saat nanti perasaan itu meledak seperti gunung berapi yang mengeluarkan lahar. Ia melampiaskan kekesalannya dengan cara yang salah dan pada orang yang tak bersalah.
Split, menurutku film ini bukan hanya sekedar film yang setelah ditonton lalu bisa secepatnya dilupakan. Sekali lagi, film ini mengingatkanku bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang paling sulit. Sangat sulit karena membentuk karakter sang anak tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah pekerjaan yang bisa mengantar sang orang tua entah ke neraka atau surga.
Itu pelajaran yang bisa didapat melalui film psikologi ini. Secara keseluruhan, aku suka film ini. π π π Hanya satu yang menurutku sangat mengganggu yakni adegan dimana tubuh Kevin diambil alih oleh kepribadian yang paling kuat dimana akhirnya ada adegan merangkak di dinding bak kerasukan setan. π€π€π€Serta merta aku jadi mikir, ini film psikologi atau film horror? Kenapa tetiba jadi kayak film Exorcist??? Melihat adegan itu, aku serasa diberi schok terapiπ¬.
Kalau dulu, setiap kali menonton film dimana tokoh utamanya adalah seorang psikopat, rasa simpatik itu tidak pernah ada. Yang ada rasa marah, jengkel dan kesal. Tapi, sekarang kalau menonton film dengan tipe seperti ini, bawaannya malah kasihan.
Mungkin benar ungkapan yang mengatakan bahwa orang jahat itu terbentuk dari orang baik yang selalu tersakiti. Dari mereka yang selalu terluka hingga akhirnya sisi gelap itu semakin menguat dan mengalahkan sisi kemanusiaan. Tak ada orang yang ingin menjadi penjahat, tapi, terkadang keadaanlah yang memaksa.
Keadaan yang memaksa dan pola asuh yang salah. Kedua hal ini ternyata sangat berpengaruh untuk kepribadian seseorang. Kevin dalam Split memiliki seorang ibu yang selalu menggunakan hukuman fisik untuk menghukum Kevin kecil. Martin dalam The Human Centipide pun memiliki ibu dengan tipikal yang kurang lebih sama. Kurang empati, kasar dan semena - mena.
Menonton film - film ini membuatku semakin yakin bahwa menjadi seorang ibu bukanlah pekerjaan yang mudah. π Karena jika seorang ibu menerapkan pola asuh yang salah maka bukan hal mustahil jika yang dilahirkan dan dibesarkannya akan menjadi seorang monster. Monster yang hanya bisa merusak dan menyakiti.
Kembali ke kasus Kevin, dalam hal ini sebenarnya Kevin tak sepenuhnya menyerah dengan keadaan. Kevin bahkan secara rutin berkonsultasi dengan seorang dokter, tapi, sekali lagi penyakit semacam MPD dan DID bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan layaknya sakit flu atau demam.
Sebutir obat tak bisa mengembalikan jiwa yang rusak itu kembali murni seperti tak pernah terjadi apa - apa. Anak yang terluka itu mungkin tidak mengatakan apapun, tapi, memory akan luka tersebut akan terus berputar di otaknya seumur hidup. Ia diam, tapi, bukan berarti melupakan.
Jika anak itu cukup kuat, ia bisa menjadikan hal buruk itu sebagai motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi, bagaimana jika sang anak tergolong rapuh? Ia terluka dan ketakutan, tapi, tak tahu harus mengadu kemana. Ia terus menumpuk rasa takut dan rasa bencinya hingga suatu saat nanti perasaan itu meledak seperti gunung berapi yang mengeluarkan lahar. Ia melampiaskan kekesalannya dengan cara yang salah dan pada orang yang tak bersalah.
Split, menurutku film ini bukan hanya sekedar film yang setelah ditonton lalu bisa secepatnya dilupakan. Sekali lagi, film ini mengingatkanku bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang paling sulit. Sangat sulit karena membentuk karakter sang anak tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah pekerjaan yang bisa mengantar sang orang tua entah ke neraka atau surga.
Itu pelajaran yang bisa didapat melalui film psikologi ini. Secara keseluruhan, aku suka film ini. π π π Hanya satu yang menurutku sangat mengganggu yakni adegan dimana tubuh Kevin diambil alih oleh kepribadian yang paling kuat dimana akhirnya ada adegan merangkak di dinding bak kerasukan setan. π€π€π€Serta merta aku jadi mikir, ini film psikologi atau film horror? Kenapa tetiba jadi kayak film Exorcist??? Melihat adegan itu, aku serasa diberi schok terapiπ¬.
_Cherry Sakura_
Komentar
Posting Komentar