Belum lama ini aku baru saja menonton film Bollywood berjudul Pihu. Tidak seperti kebanyakan film Bollywood dimana pemerannya adalah aktor tampan dan aktris cantik yang saling jatuh cinta dan kemudian kisah cintanya dibumbui dengan lagu - lagu nan romantis, film Pihu justru bersih dari semua hal khas film Bollywood tersebut.
Tidak ada aktor dan aktris berwajah rupawan, tidak ada lagu - lagu romantis dan sedih yang memporak - porandakan suasana hati dan tidak ada pemandangan indah yang memanjakan mata. Semua hal itu tidak ada, tapi, tetap saja ketika menonton film ini aku seperti sedang melakukan sport jantung.
Garis besar film Pihu berkisah tentang seorang anak berusia dua tahun yang terperangkap dalam sebuah apartemen hanya bersama mayat sang ibu. Bayangkan, seorang bocah yang belum tahu apa - apa hanya tinggal berdua dengan ibu yang sudah tak bernyawa.
Ketika menonton film ini, aku hanya bisa ngedumel sembari berpikir, "ini emak - emak bunuh diri tanpa memikirkan nasib si anak". Sumpah, aku kesal sendiri ketika tahu kalau sang ibu meninggal karena bunuh diri. Bunuh diri sedangkan dia tahu bahwa dia masih memiliki seorang anak yang notabene masih perlu perlindungan dan perhatian. Siapapun pasti akan berpikir bahwa tindakan sang ibu sangat bodoh dan egois.
Bukankah sebelum sang ibu melakukan tindakan itu, seharusnya ia memikirkan terlebih dahulu bagaimana nasib si anak? Bukankah bagi seorang ibu, anak adalah yang nomor satu dan segalanya? Bukankah bagi seorang ibu, ia akan sanggup menahan derita sekalipun demi kebahagiaan sang anak?
Di mata orang awam, tindakan sang ibu pasti akan dinilai salah. Ia memilih bunuh diri dan meninggalkan seorang bocah berusia dua tahun hanya seorang diri. Tindakan yang menurut kebanyakan orang lain begitu tidak bertanggung jawab. Tapi, jika dilihat dari sisi sang ibu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan sang ibu.
Benar sepanjang film aku selalu mengumpat dan mengatakan si ibu bunuh diri tanpa memikirkan si anak, tapi, di sisi lain aku tahu bahwa si ibu melakukan itu tentu bukan tanpa alasan. Sang ibu depresi. Depresi berat hingga harus mengkonsumsi obat penenang.
Dan seperti yang diketahui, depresi bukanlah perkara remeh. Seseorang bisa saja terlihat baik - baik saja diluar, tapi, apa yang ada di dalam hatinya, belum tentu sama seperti apa yang terlihat mata. Ada orang yang masih bisa tersenyum meski hati menangis. Ada orang yang terlihat tegar padahal hatinya hancur seperti pecahan kaca. Ia sudah berusaha untuk memperbaiki pecahan kaca tersebut, tapi, pecahan kaca tersebut bukannya kembali utuh justru semakin tajam melukai.
Hal yang paling ku sesalkan dan membuatku meradang adalah kebanyakan orang terlalu menganggap remeh depresi. Ketika seseorang melakukan bunuh diri maka akan jauh lebih banyak orang yang menghujat. Mereka yang depresi dikatakan lemah, mental tempe, tak beriman dan semacamnya.
Bunuh diri memang salah. Dalam agamapun, bunuh diri tak dibenarkan. Bahkan mereka yang bunuh diri dikatakan akan kekal selamanya di neraka karena telah melakukan dosa yang tak terampuni. Aku pun yakin mereka yang memilih jalan yang salah dengan melakukan bunuh diri tahu akan konsekuensinya. Mereka pasti telah melakukan pergulatan dengan batin mereka. Tapi, bagaimanapun depresi adalah pembunuh paling kuat yang tak terlihat.
Setiap kali membaca komentar yang sama sekali tidak berempati pada mereka yang bunuh diri, rasanya aku ikut kesal setengah mati. Mental tiap orang berbeda, tidak semua orang kuat. Ada yang hatinya lemah, ada juga yang tangguh. Tapi, percayalah mereka yang depresi tidak serta merta menyerah begitu saja. Kita tak pernah tahu bagaimana perjuangan mereka untuk bisa bertahan dan sudah selama apa.
Jika memang tak bisa berempati, bukankah lebih baik diam. Tak perlu menghakimi dan menghujat karena kita tak pernah tahu kata - kata yang kita keluarkan tersebut apakah bisa menjadi penguat atau justru menjadi mesin pembunuh.
Seringkali kita menganggap remeh masalah orang lain. Menganggap kalau masalahnya itu tak seberapa. Lalu dengan tanpa rasa bersalah mengatakan betapa berlebihannya ia dalam menghadapi masalah. Sedangkan kita tak pernah tahu luka hatinya seperti apa. Kita tak tahu berapa seringnya ia menangis di kegelapan malam. Betapa ia merasa tak berharga dan tak dibutuhkan hingga ia merasa segalanya akan jauh lebih baik jika ia menghilang.
Depresi adalah luka yang tak terlihat sehingga terkadang membuat kita tak peka karena kita tak bisa melihatnya dan bukan kita yang merasakannya. Jadi tolong, berhati - hatilah ketika berucap atau berkomentar. Jangan menertawakan atau menganggap lelucon ketika seseorang mengatakan bahwa ia sedang depresi dan memerlukan pertolongan. Jadilah pendengar yang baik. Bukankah akan sangat menyenangkan jika kita bisa menjadikan diri kita sebagai sang penyelamat?
_Cherry Sakura_
Komentar
Posting Komentar