"Oi, apa ini?", tanya Reoka dengan nada tinggi. Tangan kanannya memegang sebuah roti.
Sakura mengerjabkan matanya bingung. Ia melihat ke arah roti yang dipegang Reoka. Roti itu terlihat enak, lalu masalahnya dimana. Sakura bahkan ngiler ingin ikut mencicipi roti yang sedang dipegang Reoka.
"Lho. . . Caku beli sesuai dengan perintahmu, kan?"
"Lho. . . Caku beli sesuai dengan perintahmu, kan?"
"Kamu lupa, ya? Reoka menyuruhmu untuk membeli Bruschetta", kali ini Aoi yang angkat bicara.
Sakura melongo mendengar nama makanan yang disebutkan Aoi. Berhubung Sakura bukan penggemar makanan Italia, nama seperti itu asing di kepalanya apalagi untuk dilafalkan. "Brus. . . Cheddar?", eja Sakura, kembali melafalkan nama makanan yang tadi disebutkan Aoi.
Aoi menghela nafas, mata biru saphire-nya mengarah kepada Reoka yang masih terlihat bersungut - sungut perihal roti yang salah beli.
"Reo. . .", panggil Aoi pada sosok berambut merah yang berdiri tepat di hadapannya. "Kan, tadi aku sudah menyuruhmu untuk mencatat baik - baik apa yang jadi pesananmu. Kenapa tidak kamu lakukan?"
Reoka mendelik tidak suka ke arah Aoi. "Lho, kenapa aku harus repot - repot menuliskan pesananku?", balas Reoka kesal.
"Karena pesananmu itu banyak yang susah untuk disebutkan"
"Ikh, apa gunanya kita menjadi tukang bully kalau kita memberinya kertas pesanan baik - baik?", celetuk Reoka emosi. Sedari tadi, ah, bukan sedari awal Aoi selalu menyalahkan semua yang dilakukan Reoka. "Aku tidak butuh ini", sungut Reoka lalu membuang roti yang dipegangnya ke tanah.
"Aduh, sayang sekali", gumam Aisi melihat roti yang dibuang Reoka.
"Rotinya jatuh gara - gara kamu. Ayo, makan", perintah Reoka. Tangannya mendorong kasar Sakura hingga membuat bocah berambut merah muda itu jatuh.
"Makan!!!", Reoka kembali mengulangi perintahnya. Matanya menatap garang ke arah Sakura. Tidak peduli sama sekali dengan keadaan Sakura yang terjatuh. Yang Reoka inginkan hanya satu, yakni membuat bocah berambut merah muda itu benar - benar menangis. Salahkan Aoi yang sudah membuatnya semakin kesal karena terus - terusan memperlakukan Reoka seperti pembully gagal.
Paak!!!
"Aduuuh", Reoka mengerang merasakan pukulan tepat di kepalanya. "Kenapa kamu memukul kepalaku, Aoi?", tanya Reoka dengan mata melotot. Tangannya memegang kepalanya yang tadi dipukul Aoi. Rasanya sekarang yang ingin Reoka ajak berkelahi adalah Aoi dan bukannya bocah yang sedang mereka bully.
"Tidak perlu mendorongnya sekeras itu, kan? Rotinya juga jangan dibuang seperti itu, Reo. Kalau dia sakit perut karena makan roti yang sudah dibuang bagaimana? Kamu mau tanggung jawab?"
Manik biru saphire Aoi menatap tajam Reoka. Kelihatannya bukan hanya Reoka saja yang terpancing ingin berkelahi. Aoi yang sedari tadi menahan diri pun merasa tangannya gatal untuk memukul wajah Reoka. Reoka memang diminta untuk menjadi tukang bully, tapi, bukan berarti dia bisa semena - mena memperlakukan bocah berambut merah muda itu.
Manik biru saphire Aoi menatap tajam Reoka. Kelihatannya bukan hanya Reoka saja yang terpancing ingin berkelahi. Aoi yang sedari tadi menahan diri pun merasa tangannya gatal untuk memukul wajah Reoka. Reoka memang diminta untuk menjadi tukang bully, tapi, bukan berarti dia bisa semena - mena memperlakukan bocah berambut merah muda itu.
"Kenapa kamu terus membelanyaaa?", tanya Reoka frustasi.
Aoi ingin menjawab pertanyaan Reoka ketika suara 'graup' menghentikannya. Itu suara seseorang mengunyah sesuatu, tapi, masalahnya baik dia ataupun Reoka tidak ada yang sedang makan. Mereka berdua sedang bersitegang, begitu juga dengan dua teman perempuan mereka yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan raut wajah cemas. Jika bukan mereka yang memakan sesuatu, maka itu berarti. . .
Dengan cepat, Aoi menolehkan kepalanya ke arah bocah berambut merah muda yang tadi didorong Reoka. Bukan hanya Aoi, semua yang ada di tempat itu ikut menolehkan kepalanya ke arah Sakura. Yang menjadi permintaan Aoi saat ini hanya satu : jangan sampai bocah itu benar - benar memakan roti yang tadi dibuang Reoka. Tapi, nyatanya apa yang diminta hati Aoi jelas tidak kesampaian. Aoi yakin bahwa apa yang ditakutkannya sudah pasti terjadi terlebih ketika mendengar teriakan panik Aisi.
"Dia benar - benar memakannya?", kata Aisi dengan suara tercekat.
"Roti rasa apa itu?", tanya Aoi panik.
"Gawaaat", Rokuna mengerang dengan wajah horror seraya membaca tulisan yang ada di bungkus roti. "Roti rasa melon"
"Apa??", teriak Aoi. Wajah paniknya terpampang nyata. Rasanya Aoi benar - benar ingin menjambak rambut Reoka lalu melemparkan tubuh Reoka ke dalam kandang ular peliharaannya. Kejadian seperti ini tidak akan terjadi kalau saja Reoka tidak asal menyuruh Sakura membeli makanan yang ingin dimakan Reoka.
"Hentikan dia. Dia alergi buah melon", perintah Aoi.
Terlambat. Roti itu sudah habis dimakan oleh Sakura. Bahkan tidak tersisa sedikitpun. Jika waktu bisa diulang, ingin rasanya Aoi melompat kembali ke masa lalu. Tapi, sayangnya waktu tidak bisa diulang. Yang bisa mereka semua lakukan saat ini hanya menatap horror bungkus plastik yang sudah kosong itu.
Terlambat. Roti itu sudah habis dimakan oleh Sakura. Bahkan tidak tersisa sedikitpun. Jika waktu bisa diulang, ingin rasanya Aoi melompat kembali ke masa lalu. Tapi, sayangnya waktu tidak bisa diulang. Yang bisa mereka semua lakukan saat ini hanya menatap horror bungkus plastik yang sudah kosong itu.
To Be Continued
_Cherry Sakura_
Komentar
Posting Komentar