"Huweeee, perut Caku sakit. Mereka benar - benar tukang bully. Tega - teganya memberi Caku roti melon yang tidak bisa Caku makan", teriak Sakura dramatis.
Bocah berambut merah muda itu masih terus meraung - raung di ruang kesehatan. Sebanyak apapun ia memuntahkan apa yang dimakannya, sakit perutnya masih belum mereda.
"Kamu sendiri yang membeli dan memakan habis roti itu, Sakura", tegur Aoi frustasi.
Ia kelelahan sendiri melihat Sakura yang sedari tadi guling - gulingan bak ulat daun di atas ranjang. Hari ini benar - benar terasa begitu melelahkan. Ditambah lagi dengan tatapan intimidasi dari sepupu bermata hijaunya yang lain yakni Rintama. Hawa di ruangan itu dalam sekejap terasa begitu suram dan mencekam begitu Rintama datang. Bahkan tatapan matanya saja sudah bisa membuat Reoka refleks membungkukkan tubuhnya dan meminta maaf tanpa harus diminta.
"Hieee, maafkan kami", ucap Reoka masih dengan posisi menunduk.
"Kami benar - benar minta maaf, Kitaoka-San", ucap Aisi dan Rokuna bersamaan.
Nada suara mereka penuh dengan rasa penyesalan dan rasa bersalah. Mereka bahkan hampir menitikkan airmata ketika meminta maaf. Tapi, Rintama justru mengacuhkan permintaan maaf ketiga orang yang menunduk ketakutan di hadapannya. Matanya sedari tadi terfokus pada sosok Aoi. Sosok yang membuatnya paling kesal karena sudah lalai.
"Kenapa menatapku seperti itu? Walaupun aku memasang ekspresi bersalah seperti ini, bukan aku yang menyuruhnya untuk makan roti melon", kata Aoi dengan raut wajah tidak nyaman karena menyadari tatapan tajam Rintama yang hanya tertuju padanya.
"Kamu. . .", Rintama menolehkan kepalanya ke arah sepupu berambut merah mudanya yang sedari tadi berlaku bak ulat daun. Tapi, penampakan wujud sepupu menyusahkannya itu sudah tidak tertangkap oleh penglihatannya. Si merah muda entah sejak kapan menghilang meninggalkan ruangan tanpa ada yang menyadari. Sekali lagi, orang sial yang mendapat pelototan mata Rintama adalah Aoi yang sebenarnya tidak bersalah.
"Eeee, Rintama. Kamu harus berjanji tidak akan memarahinya. Caku pasti akan pulang dengan senang hati kalau kamu tidak memarahinya perkara ia yang makan roti melon", usul Aoi. Ia masih berusaha berpikir dengan kepala dingin, sebisa mungkin berusaha agar amarah Rintama tidak meledak. Mereka yang ada di dalam ruangan bisa kehilangan nyawa percuma kalau mata Rintama sampai berubah warna menjadi merah.
"Cari dia sampai ketemu", perintah Rintama dengan suaranya yang datar dan dalam. Ekspresi wajahnya dingin. Rintama menatap sengit kepada semua orang yang ada di dalam ruangan. Tatapan yang berhasil membuat ke empat orang itu meneguk ludah mereka sendiri. Masing - masing dari mereka melafalkan harap agar mata Rintama jangan sampai berubah warna. Pokoknya jangan sampai berubah menjadi merah.
"Ba. . . Baik", jawab mereka bersamaan dengan terbata - bata.
Mereka baru bisa bersuara setelah Rintama pergi meninggalkan ruang kesehatan. Udara yang sedari tadi terasa dingin dan mencekam berangsur - angsur kembali normal dan menghangat. Akhirnya mereka bisa kembali merasakan menjadi manusia yang menghirup oksigen.
"Pssst", Reoka mulai berani berbisik ke telinga Aoi setelah memastikan Rintama tidak ada di tempat itu lagi. "Ke. . . Kenapa dia menyeramkan begitu? Auranya suram sekali", tanya Reoka dengan suara tercekat.
"Semua yang berdarah Seiryu itu memang menyeramkan", jawab Aoi dan ia langsung mendapat tatapan heran dari Reoka.
"Apa?", tanya Aoi tidak mengerti dengan maksud dari tatapan Reoka.
"Kamu dan Sakura tidak"
"Ah. . . Apa mungkin kami berdua hanyalah anak angkat dan tidak berdarah Seiryu sama sekali? Akh!!! Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Kita harus mencari Sakura sampai ketemu", pungkas Aoi tiba - tiba, teringat pada sepupu merah mudanya yang sakit perut, tapi, masih punya kemampuan untuk kabur.
"Kita, kan, tukang bully", sela Reoka, "Kenapa jadi kita yang harus bersusah payah?"
"Jadi kamu ingin Rintama yang bertindak?"
Pertanyaan dari Aoi sontak membuat Reoka untuk yang kedua kalinya meneguk ludahnya sendiri. Setakut - takutnya Reoka pada sosok Ribent yang bar - bar, Reoka masih jauh lebih takut pada sosok Rintama yang pendiam. Reoka meringis dalam hati. Menyesali keadaan kenapa ia harus terlibat satu frame dengan psikopat satu itu. Bagaimana pun juga Reoka tidak ingin nasibnya berakhir tragis dalam keadaan terpotong - potong dan mayatnya tidak bisa lagi dikenali. Oh, jangan sampai itu terjadi!!!
Bocah berambut merah muda itu masih terus meraung - raung di ruang kesehatan. Sebanyak apapun ia memuntahkan apa yang dimakannya, sakit perutnya masih belum mereda.
"Kamu sendiri yang membeli dan memakan habis roti itu, Sakura", tegur Aoi frustasi.
Ia kelelahan sendiri melihat Sakura yang sedari tadi guling - gulingan bak ulat daun di atas ranjang. Hari ini benar - benar terasa begitu melelahkan. Ditambah lagi dengan tatapan intimidasi dari sepupu bermata hijaunya yang lain yakni Rintama. Hawa di ruangan itu dalam sekejap terasa begitu suram dan mencekam begitu Rintama datang. Bahkan tatapan matanya saja sudah bisa membuat Reoka refleks membungkukkan tubuhnya dan meminta maaf tanpa harus diminta.
"Hieee, maafkan kami", ucap Reoka masih dengan posisi menunduk.
"Kami benar - benar minta maaf, Kitaoka-San", ucap Aisi dan Rokuna bersamaan.
Nada suara mereka penuh dengan rasa penyesalan dan rasa bersalah. Mereka bahkan hampir menitikkan airmata ketika meminta maaf. Tapi, Rintama justru mengacuhkan permintaan maaf ketiga orang yang menunduk ketakutan di hadapannya. Matanya sedari tadi terfokus pada sosok Aoi. Sosok yang membuatnya paling kesal karena sudah lalai.
"Kenapa menatapku seperti itu? Walaupun aku memasang ekspresi bersalah seperti ini, bukan aku yang menyuruhnya untuk makan roti melon", kata Aoi dengan raut wajah tidak nyaman karena menyadari tatapan tajam Rintama yang hanya tertuju padanya.
"Kamu. . .", Rintama menolehkan kepalanya ke arah sepupu berambut merah mudanya yang sedari tadi berlaku bak ulat daun. Tapi, penampakan wujud sepupu menyusahkannya itu sudah tidak tertangkap oleh penglihatannya. Si merah muda entah sejak kapan menghilang meninggalkan ruangan tanpa ada yang menyadari. Sekali lagi, orang sial yang mendapat pelototan mata Rintama adalah Aoi yang sebenarnya tidak bersalah.
"Eeee, Rintama. Kamu harus berjanji tidak akan memarahinya. Caku pasti akan pulang dengan senang hati kalau kamu tidak memarahinya perkara ia yang makan roti melon", usul Aoi. Ia masih berusaha berpikir dengan kepala dingin, sebisa mungkin berusaha agar amarah Rintama tidak meledak. Mereka yang ada di dalam ruangan bisa kehilangan nyawa percuma kalau mata Rintama sampai berubah warna menjadi merah.
"Cari dia sampai ketemu", perintah Rintama dengan suaranya yang datar dan dalam. Ekspresi wajahnya dingin. Rintama menatap sengit kepada semua orang yang ada di dalam ruangan. Tatapan yang berhasil membuat ke empat orang itu meneguk ludah mereka sendiri. Masing - masing dari mereka melafalkan harap agar mata Rintama jangan sampai berubah warna. Pokoknya jangan sampai berubah menjadi merah.
"Ba. . . Baik", jawab mereka bersamaan dengan terbata - bata.
Mereka baru bisa bersuara setelah Rintama pergi meninggalkan ruang kesehatan. Udara yang sedari tadi terasa dingin dan mencekam berangsur - angsur kembali normal dan menghangat. Akhirnya mereka bisa kembali merasakan menjadi manusia yang menghirup oksigen.
"Pssst", Reoka mulai berani berbisik ke telinga Aoi setelah memastikan Rintama tidak ada di tempat itu lagi. "Ke. . . Kenapa dia menyeramkan begitu? Auranya suram sekali", tanya Reoka dengan suara tercekat.
"Semua yang berdarah Seiryu itu memang menyeramkan", jawab Aoi dan ia langsung mendapat tatapan heran dari Reoka.
"Apa?", tanya Aoi tidak mengerti dengan maksud dari tatapan Reoka.
"Kamu dan Sakura tidak"
"Ah. . . Apa mungkin kami berdua hanyalah anak angkat dan tidak berdarah Seiryu sama sekali? Akh!!! Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Kita harus mencari Sakura sampai ketemu", pungkas Aoi tiba - tiba, teringat pada sepupu merah mudanya yang sakit perut, tapi, masih punya kemampuan untuk kabur.
"Kita, kan, tukang bully", sela Reoka, "Kenapa jadi kita yang harus bersusah payah?"
"Jadi kamu ingin Rintama yang bertindak?"
Pertanyaan dari Aoi sontak membuat Reoka untuk yang kedua kalinya meneguk ludahnya sendiri. Setakut - takutnya Reoka pada sosok Ribent yang bar - bar, Reoka masih jauh lebih takut pada sosok Rintama yang pendiam. Reoka meringis dalam hati. Menyesali keadaan kenapa ia harus terlibat satu frame dengan psikopat satu itu. Bagaimana pun juga Reoka tidak ingin nasibnya berakhir tragis dalam keadaan terpotong - potong dan mayatnya tidak bisa lagi dikenali. Oh, jangan sampai itu terjadi!!!
To Be Continued
_Cherry Sakura_
Komentar
Posting Komentar